All about Philosophy of Education

1. Terjemahan teks filsafat pendidikan Paulo Freire

Membaca Dunia dan Membaca Kata
Wawancara dengan Paulo Freire

Mengajar dan Mendidik
            Language Arts : Paulo, Anda dikenal karena karya anda yang familiar dengan Pendidikan Pembebasan—pendidikan yang membantu murid meniadakan penindasan dan mencapai beragam kebebasan—dan peranan khusus di mana dialog dan membaca terlibat di dalam proses itu. Peranan guru dalam pengalaman ini adalah kunci. Dapatkah Anda menggambarkan apa artinya menjadi guru menurut Anda?
            Freire : Saya suka menjadi seorang guru. Bagi saya, menjadi guru tidak berarti menjadi misionaris, atau menerima misi dari surga. Tetapi, seorang guru adalah seorang profesional, ia harus mampu menciptakan dan mengembangkan kualitas-kualitas atau keutamaan hidup yang ada yang tidak bisa diterima begitu saja, tetapi harus diciptakan. Kemampuan memperbaharui diri sendiri setiap hari itu sangat penting. Hal itu mencegah kita agar tidak jatuh pada apa yang disebut dengan ”birokratisasi pemikiran”. Saya seorang guru.
Language Arts : Seperti apa kualitas atau keutamaan hidup yang menurut Anda itu penting bagi guru yang professional itu?
Freire : keutamaan adalah kualitas yang Anda ciptakan kembali melalui tindakan/aksi dan melalui praktik—kualitas-kualitas hidup yang tetap konsisten dan koheren dalam memandang mimpi kita—suatu konsistensi yang oleh guru dicoba untuk diraih di dalam praktik yang mereka lakukan.
Kerendahan hati adalah keutamaan yang penting bagi seorang guru yaitu kualitas pemahaman—yang diketahui tanpa perlu menderita—keterbatasan pengetahuan kita dalam memahami apa yang bisa dan tidak bisa kita lakukan di dalam pendidikan. Kerendahan hati menerima kebutuhan untuk kita bisa belajar dan belajar lebih giat lagi dan lagi, kerendahan hati untuk mengetahui dengan siapa kita akan mengetahui. Anda harus rendah hati karena Anda tidak punya alasan untuk tidak rendah hati. Namun, menjadi rendah hati tidak berarti bahwa Anda menjadi direndahkan. Rendah hati berarti mengerti penderitaan dan perasaan orang lain. Kita seharusnya menghargai harapan-harapan yang dimiliki pelajar dan pengetahuan yang dimilikinya. Kecenderungan kita sebagai guru adalah bertolak pada sudut pandang kita dan tidak berangkat pada titik tolak pelajar. Guru seharusnya bebas mengatakan kepada pelajar, ”Anda meyakinkan saya”. Dialog bukanlah suatu taktik instruksi yang kosong melompong, tetapi bagian alami dalam proses mengetahui.
Keutamaan penting lainnya bagi guru adalah kesabaran dan lawannya dari itu yaitu ketidaksabaran. Kita, guru harus belajar bagaimana membuat hidup bersama dengan pelajar yang mungkin berbeda dengan kita. Cara pembelajaran seperti ini melibatkan kesabaran dan ketidaksabaran. Kita harus selalu berlaku tidak sabaran untuk mencapai mimpi kita dan membantu pelajar mencapai mimpinya. Kemudian, jika kita dan murid berjuang sangat keras dan sangat cepat untuk mendapatkan mimpi-mimpi kita, kita bisa menghancurkan mereka. Dengan demikian, kita harus bertindak ”tidak sabaran” yang ”sesabar-sabarnya”.
Toleransi adalah keutamaan lain yang sangat penting. Hal itu melibatkan baik itu kerendahan hati dan kesabaran. Toleransi berarti belajar berkonfrontasi dengan mereka yang bertentangan dengan kita. Sebagai contoh, sebuah kelas murid bukanlah terdiri dari kelas sosial yang demikian, tetapi kelas diciptakan oleh murid-murid per individu yang tergabung di dalamnya suatu kelas yang berasal dari beragam latar belakang kelas. Sebagai seorang guru, relasi saya dengan mereka bukanlah suatu relasi kelas. Nilai-nilai saya bisa berbeda dengan nilai-nilai dari murid, tetapi saya tidak bisa karena alasan itu, menjadikan mereka sebagai musuh saya. Saya harus toleran.
Suatu kisah dituturkan tentang saudara sepupu ketua Mao Tze Tung yang mempermasalahkan  kepadanya tentang jargon dalam bentuk tulisan cakar ayam ”Hidup Chiang Kai-Shek” yang terpampang di papan tulis di universitasnya. Dalam menanggapi pertanyaan Mao, ia mengatakan kepada Mao bahwa hanya ada dua kaum reaksioner di antara 5000 mahasiswa di universitasnya yang akan menulis hal itu. Mao menjawab bahwa sangat buruk jika ada dua orang saja, akan lebih baik dari sudut pandang kaum komunis, jika banyak kaum reaksioner di sekitar mereka. Ia menekankan bahwa rakyat berhak mengatakan apa yang mereka pikirkan, namun sudut pandang komunis juga memiliki hak untuk meyakinkan mereka bahwa mereka salah.
Semua keutamaan ini berhubungan. Sebagai contoh, menjadi toleran berarti menghargai dan menjadi toleran berarti mengandaikan kebodohan/kenaifan murid. Seorang guru harus menerima kenaifan (kebodohan) murid karena alasan-alasan praktisnya. Anda tidak bisa menyingkirkan kebodohan murid dengan teori. Kita harus mulai pada titik di mana murid berada. Jika kita mulai dari titik kita berada, kita harus membuat hubungan-hubungan dengan posisi di mana murid berada. Agar para murid bisa melampaui kebodohannya, penting bagi mereka untuk memahami kebodohan mereka dengan pikiran mereka sendiri dan kemudian mereka akan mencoba membuat lompatan penting, dan mereka akan melompat dengan Anda. Mengandaikan kebodohan murid tidak berarti menjadi bodoh atau tetap pada tingkat kebodohan para murid. Mengandaikan kebodohan murid adalah memahami kebodohan murid itu dan tidak menolaknya secara dogmatis, namun mengatakan ya kepada kebodohan murid dan menghantarkan tantangan pada murid yang bodoh itu, sehingga mereka bisa melampaui pemahaman yang naif dalam realitas mereka.
Keutamaan yang terakhir, jika mungkin adalah kemampuan mencintai para murid dari semua hal. Saya tidak mengartikannya sejenis cinta yang indah atau cinta lembut, tetapi sebaliknya suatu cinta afirmatif (menegaskan), suatu cinta yang menerima, suatu cinta bagi murid yang mendorong kita untuk melampaui, yang membuat kita sangat bertanggung jawab dalam tugas-tugas kita.
            Language Arts : Anda sering memakai frase ”guru-murid” dalam hubungannya dengan pengajaran guru di kelas. Dalam situasi pengajaran, bagaimana Anda melihat ”guru sebagai murid”?
            Freire : Saya memandang hal itu  sebagai suatu kualitas dan kebijaksanaan yang penting untuk memahami pemisahan yang mungkin antara pengajaran dan pembelajaran. Guru-guru harus sadar setiap hari bahwa mereka datang ke sekolah untuk belajar dan bukan saja untuk mengajar. Sangat tidak mungkin mengajar tanpa belajar, begitu pula sebaliknya. Kita tidak bisa memisahkan pengajaran dari pembelajaran. Kita akan menciptakan kekerasan jika dipaksakan. Lebih dari satu kurun waktu yang telah lewat, kita tidak memandang hal itu sebagai kekerasan bila kita terus memisahkan pengajaran dari pembelajaran. Kemudian, kita simpulkan bahwa guru mengajar dan murid belajar. Yang patut disayangkan, ketika murid diajarkan bahwa mereka datang ke sekolah untuk diajar dan diajarkan berarti mentransfer pengetahuan.
            Mengetahui pengertian sebuah objek berarti memahami objek. Saya pertama memahami objek dan dalam memahami objek saya mengetahuinya. Dan karena saya tahu, saya kemudian mengingatnya. Pemahaman mendahului pengingatan. Belajar tidak mungkin tanpa mengetahui. Mengajar bagi saya kemudian adalah menantang murid-murid untuk mengetahui dan memahami objek.
            Sebagai seorang guru, kita belajar dari proses mengajar dan kita belajar dengan murid-murid sebagai keadaan yang memungkinkan kita untuk belajar. Kita juga belajar dari proses pengajaran itu yaitu bahwa murid-murid juga mengajar kita.
Language Arts : Apa visi Anda tentang pendidikan? Apa yang Anda harapkan dari pendidikan untuk pertumbuhan anak-anak muda?
Freire : Bagi saya pendidikan adalah suatu tindakan mengetahui yang berkesinambungan, suatu tindakan politis dan momen artistik. Dengan demikian, saya tidak berbicara lagi tentang dimensi politis dari pendidikan. Saya tidak sedang berbicara tentang dimensi pengetahuan dari pendidikan. Selain itu, saya tidak berbicara tentang pendidikan melalui seni. Sebaliknya, saya berbicara tentang pendidikan sebagai politik, seni dan mengetahui. Pendidikan adalah teori pengetahuan yang nyata dipraktikkan dalam hidup sehari-hari. Namun, hal itu ditampilkan dengan ”jubah” yang bercita rasa seni. Keasyikan kita dengan menolong anak-anak membentuk mereka sebagai ”pengada”, hal ini adalah aspek seni dari pendidikan. Jika menjadi seorang guru berarti menjadikan kita seorang politisi, seorang ahli epistemologi dan seorang seniman, saya rasa tidak mudah untuk menyatukan tiga aspek itu.
Dengan demikian, untuk meraih hal tersebut yang menjadi tanggung jawab kita, kita harus siap, kompeten dan mampu. Kita tidak seharusnya membuat putus-asa murid-murid yang datang kepada kita untuk berharap jawaban atas harapan, keragu-raguan dan hasrat pengetahuan mereka. Tentunya kita harus memiliki beberapa pengetahuan tentang materi pelajarannya, tetapi kita juga harus mengetahui cara menolong mereka untuk mengetahui. Dimensi cara ini juga adalah aspek seni dan tidak hanya menyangkut aspek metodologis.  
Beragam wacana dan pertanyaan muncul dari pemahaman aksi pendidikan ini. Sebagai contoh, dianjurkan bahwa kita, para guru harus secara terus menerus bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan para guru sendiri dan pertanyaan-pertanyaan para murid, untuk menciptakan semangat yang menjadi keyakinan kita melalui ketidakyakinan atas keyakinan kita. Untuk meraih hal tersebut yang tidak kita bisa pastikan sama sekali tentang keyakinan kita, kita mulai ”berjalan menuju” beragam kepastian.
Contoh lain adalah bahwa pendidikan memiliki dimensi politis, kualitas pendidikan yang berpolitik. Selain itu, politik memiliki segi pendidikannya, kualitas politik yang berpendidikan. Momen politik bersifat pendidikan dan sebaliknya. Karena pendidikan bersifat politik, maka hal itu tidak dapat netral. Ketika kita berusaha netral seperti Pilatus, kita mendukung ideologi dominan. Jika pendidikan tidak bersikap netral, maka pendidikan harus membebaskan atau mendomestifikasi (saya juga menyadari bahwa kita mungkin tidak mengalami hal itu sebagai sungguh murni netral atau sebaliknya, tetapi percampuran keduanya). Dengan demikian, kita harus menyadari diri kita sebagai kaum politisi. Itu tidak berarti bahwa kita memiliki hak untuk mendorong murid-murid untuk mengikuti opsi politik kita. Namun, kita memiliki kewajiban politik untuk tidak menyembunyikan opsi kita. Murid-murid memiliki hak untuk mengetahui apakah mimpi-mimpi politik kita. Mereka bebas kemudian menerima, menolak, mengubah mimpi itu. Tugas kita bukan untuk mendorong mimpi kita kepada mereka, tetapi menantang mereka untuk memiliki mimpi mereka sendiri, untuk merumuskan pilihan-pilihan mereka dan tidak hanya memandang mereka secara tidak kritis.
Para guru patut disayangkan telah menghancurkan ideologi dominan dari sebuah masyarakat dan cenderung menekan cara pandang masyarakat terhadap dunia dan menekan memperlakukan anak-anak. Para guru biasanya memandang hal itu sebagai mencekoki anak-anak, sebagai sebuah keinginan misionaris. Kecenderungan ini berakar dari ”kompleks superioritas” (a superiority complex). Jika kita jatuh pada cara berpikir yang seperti ini, maka kita akan mendekati anak-anak dengan ”masker” dan ”sarung tangan” bedah. Ideologi dominan yang melayani kepentingan-kepentingan yang memiliki kekuatan sosial, mengakibatkan dunia yang kita lihat menjadi buram. Kita seringkali yakin pada sabda-sabda ideologis yang digembar-gemborkan kepada kita—yang sering kita ucapkan terus—daripada yakin dengan apa yang sedang kita hidupi. Satu-satunya cara untuk lari dari jebakan ideologis itu—untuk menyingkap realitas—adalah menciptakan ideologi tandingan untuk membantu kita memecah ideologi dominan. Hal itu bisa dicapai dengan merefleksikan pengalaman-pengalaman kongkret secara kritis, untuk memikirkan alasan adanya kenyataan-kenyataan yang kita refleksikan. Para guru harus mampu bermain dengan anak-anak, bermimpi dengan mereka. Mereka harus pertama-tama membasahi tubuh mereka di dalam perairan budaya anak-anak. Kemudian, mereka akan melihat cara mengajar dan membaca.
Sekali waktu, para guru melihat kontradiksi antara kata dan tindakan mereka, mereka memiliki dua pilihan. Mereka bisa menjadi jelas dan sadar atas kebutuhan mereka, sehingga menjadi reaksioner atau mereka dapat menerima posisi secara kritis untuk terlibat dalam tindakan untuk mengubah realitas. Saya menyebut itu sebagai ”Perjamuan Paskah” setiap hari yaitu untuk mati sebagai penguasa dan lahir kembali sebagai kaum yang terdominasi dan berjuang untuk menjungkirbalikkan penindasan.

Peranan Bahasa dan Membaca     
            Language Arts : bagaimana bahasa khususnya membaca sesuai dengan visi Anda tentang pendidikan? Bagaimana hal itu bisa membantu mengembangkan kesadaran kritis untuk mengetahui mimpi-mimpi kita agar menjadi bebas dan meraih mimpi-mimpi itu?
Freire : Jika kita berpikir pendidikan sebagai tindakan mengetahui, maka membaca berhubungan dengan mengetahui. Tindakan membaca tidak hanya dijelaskan sebagai membaca kata-kata karena setiap tindakan membaca kata berarti membaca dunia terlebih dahulu dan membaca kembali dunia secara terus menerus. Ada gerakan maju-mundur yang konstan antara membaca realitas dan membaca kata—kata yang dibicarakan juga adalah cara membaca dunia. Kita bisa lebih jauh, kemudian, dan mengatakan bahwa membaca kata tidaklah dilakukan dengan membaca dunia, namun juga melalui menulis tentang dunia atau penulisan kembali dunia. Dengan kata lain, mentransformasikan kata melalui tindakan praktis yang disadari. Bagi saya, gerakan dinamis ini adalah penting dalam membaca
Dengan demikian, kita melihat bagaimana membaca adalah persoalan mempelajari realitas yang hidup, realitas yang kita hidupi di dalamnya, realitas sebagai sejarah yang dinyatakan dan juga menyatakan kita. Kita juga bisa melihat bagaimana tidak mungkinnya membaca teks tanpa membaca konteks dari teks, tanpa membangun relasi antara diskursus dan realitasnya yang membentuk diskursusnya. Penekanan ini, saya yakin, menjadi tanggung jawab dari praktik membaca teks. Kita harus mencoba membaca konteks dari teks dan juga merelasikan itu kepada konteks di mana kita membaca teks. Dengan begitu juga membaca tidak begitu mudah. Membaca memperantarai/memediasi mengetahui dan juga mengetahui itu sendiri, karena bahasa adalah pengetahuan dan tidak hanya mediasi pengetahuan.
Mungkin saya bisa menggambarkan dengan merujuk pada judul sebuah buku yang ditulis oleh anak perempuan saya, Magdalena. Ia mengajar anak-anak muda di Brazil dan membantu mereka belajar membaca dan menulis, namun yang terpenting ia membantu mereka mengetahui dunia. Bukunya menggambarkan karyanya dengan anak-anak dan hakikat pembelajaran mereka. Buku itu berjudul, ”The Passion to Know the World not How to Teach Kids to Read and Write” (Kesabaran mengetahui dunia, tetapi bukan mengajari Anak membaca dan menulis). Tidak peduli dari tingkat manapun atau tingkat usia apapun pelajar yang kita ajar, dari TK hingga universitas, membaca kritis adalah memang penting dan fundamental. Membaca selalu melibatkan persepsi kritis, interpretasi dan menulis kembali apa yang dibaca. Tugas membaca adalah menyingkap apa yang tersembunyi di dalam teks. Saya selalu mengatakan kepada murid-murid yang saya belajar dengannya, “Membaca bukanlah berjalan di atas kata-kata, tetapi membaca adalah memahami jiwa dari kata-kata”.
Language Arts: tampaknya bahwa jika anak-anak ke sekolah, mereka sudah tahu cara ”membaca” dalam arti bahwa mereka tahu bagaimana menimbulkan keingintahuan pada dunia dan bagaimana mengubahnya. Namun, jika kita terapkan di dalam sistem pendidikan nonkritis-reproduktif, tampaknya membaca dapat dipraktikan dalam cara yang tidak kritis dan bahwa membaca dapat menjadi “berjalan di atas kata-kata”—suatu proses teknis dan nirmakna. Bagaimana kita mencegah hal itu terjadi? Bagaimana Magdalena berinteraksi dengan anak-anak? Bagaimana ia menghembuskan pancaran kesabaran untuk mengetahui dunia?
Freire : membaca kata dan menuliskannya harus lahir dari gerakan dinamis dalam membaca dunia. Pertanyaannya adalah bagaimana menciptakan suatu kesinambungan yang mengalir antara di satu sisi membaca            dunia, berbicara tentang pengalaman, berbicara bebas dengan spontanitas dan di sisi lain momen menulis dan kemudian belajar bagaimana membaca, sehingga kata-kata yang menjadi titik tolak bagi pembelajaran membaca dan menulis lahir dari ide-ide murid-murid dan bukan dari buku-buku bacaan gurunya.
Dalam analisis terakhir, murid-murid seharurusnya datang dengan keadaan spontan: dengan perasaannya, dengan pertanyaan-pertanyaannya, dengan kreativitas-kreativitasnya, dengan resiko yang ditanggung mereka untuk mencipta, mendapatkan bahasanya sendiri dengan ”tangannya sendiri” untuk menciptakan hal-hal yang indah dengan mereka. Dasar pembacaan kritis bagi anak-anak muda adalah keingintahuannya.
Sekali lagi, mengajar anak-anak membaca dan menulis seharusnya menjadi kegiatan yang berseni. Namun demikian, banyak guru-guru mengubah pengalaman-pengalaman ini menjadi suatu momen teknis, menjadi momen tanpa emosi-emosi, tanpa penemuan, tanpa kreativitas—dan dengan pengulangan. Banyak guru bekerja secara birokratis ketika mereka seharusnya bekerja dengan berseni. Mengajarkan anak-anak bagaimana membaca kata-kata di dunia adalah sesuatu yang tidak dapat sesungguhnya diletakkan di dalam sebuah program. Secara normal, anak-anak hidup secara imajinatif berhadapan dengan realitas, namun mereka dapat merasa bersalah jika membaca dengan cara itu dengan program pembacaan birokratis dan dapat menyerahkan pembacaan imajinatif dan kritis untuk sebuah proses yang berkaitan dengan perilaku.
Membaca lebih dari sekedar momen teknis bagi saya. Itu seperti membawa tubuh kesadaran saya ke dalam tindakan. Saya lah subjek pembaca, dengan guru dari tindakan membaca dan menulis dan saya bukanlah objek belaka dari pengajaran tentang bagaimana membaca dan menulis. Saya harus tahu! Saya harus meraih sendiri proses membaca dan menulis.
Magdalena memperkenalkan kepada anak-anak dengan tanpa kekerasan terhadap pemahaman yang benar tentang dunia, tentang dimensi-dimensi realitasnya lewat pembicaraan dengannya, dengan membawa ke kelas suatu teks atau artikel dari surat kabar dengan membaca dari mereka dan untuk mereka, mengundang orang tua untuk datang dan berbicara tentang pengalaman hidup mereka, mendorong anak-anak untuk memperkenalkannya kepada teks, objek dan pengalaman. Anak-anak mulai merefleksikan bahasanya sendiri, mencapai kemampuan berbahasa lewat tangannya sendiri. Sedikit demi sedikit, mereka belajar membaca dan menulis secara kritis. Dan ini bisa dilakukan tanpa mengembalikan mereka ke dunia akademis yang arogan.              
Guru harus bersatu dengan murid—dengan rasa ingin tahu bersama mereka, tanpa berusaha menjadi sama seperti mereka—karena anak-anak membutuhkan orang dewasa. Mereka perlu tahu bahwa kami (guru) tahu lebih banyak dari yang mereka yang ketahui, namun juga bahwa kami (guru) sedang mengetahui. Salah seorang murid Madalena terkejut suatu hari ketika belajar bahwa tidak ada yang dapat diketahui dengan pasti, namun di hari ke depan, ia menjadi tahu bagaimana dia belajar tentang hal itu. Pengalaman seperti itu memiliki dimensi ideologis untuk bersekolah dan belajar. Dengan mengakui kelemahan guru, hal ini justru mendemistifikasi (meruntuhkan pengidolaan/pemitosan) Madalena dan membuat ia lebih dicintai. Demistifikasi orang dewasa ini adalah satu-satunya jalan bagi anak-anak untuk bertumbuh.
Pertanyaan dasar di sekolah adalah bagaimana untuk tidak memisahkan membaca kata dan membaca dunia, membaca teks dan membaca konteks.
Language Art: Tampaknya, bahwa kita sampai pada lingkaran purna dalam pembicaraan ini. Bila saya lihat ke belakang, saya takut saya sedang mendikotomisasi ketika saya mendengarkan Anda sedang menyoroti apa yang dilakukan guru pada satu sisi dan di sisi lain apa yang dilakukan murid. Intinya, ada satu pertanyaan dan satu jawaban. Tampaknya, bahwa jenis pembaca dan penulis yang ingin diciptakan pada anak-anak muda, kitalah yang harus menciptakannya. Kita harus tahu itu dan mengajarkan itu, dengan menghidupinya!
 Freire: Ya, benar!
Language Art: Jika guru-guru memiliki kesabaran mengetahui dunia, jika mereka ingin tahu dan takjub, tampaknya bahwa membaca dan menulis akan diterapkan dalam cara seperti itu di dalam kelas dan pasti bukan dalam cara lain.
Freire: Ya saya setuju. Sebagai contoh, tidak mungkin bagi Madalena untuk mempraktikkan apa yang telah dilakukannya jika ia mempunyai pemahaman membaca dan pendidikan yang birokratis. (Saya mengutip Madalena hanya karena kita sedang membicarakan bukunya. Ada banyak guru di Brazil yang melakukan yang sama dengannya). Jika seorang guru memiliki pemahaman pendidikan, realitas dan eksistensi yang birokratis, maka dengan serta merta pemahaman guru dalam membaca juga akan menjadi birokratis. Tantangan bagi guru adalah mengetahui kembali bagi dirinya sendiri objek-objek yang sedang dipelajari anak-anak dan menemukan makna yang tersembunyi sebelumnya di dalam dirinya. Jika mereka tidak melakukan itu, ada bahaya yaitu bahwa guru-guru akan mentransfer pengetahuannya ke murid-murid. Karena itu, kemampuan dan ketidakmampuan seorang anak dalam membaca secara kritis ditentukan oleh mereka yang mendampingi mereka membaca.
Katakanlah bahwa seorang guru memahami cara berpikir saya yang baru yaitu tentang eksistensi, pendidikan dan realitas dalam suatu kursus dan perjumpaan.Jika seorang guru tidak memiliki cukup waktu untuk membentuk kembali pemahamannya, jika dia menerima ide-ide saya secara intelektual namun tidak secara emosional, tidak secara politis, tidak secara eksistensial, apa yang terjadi adalah bahwa dia akan kembali bekerja bersama anak-anak dan mengubah semua dinamika yang menjadi syarat bagi pembacaan dunia dan pembacaan kata dalam satu rumusan. Sekali lagi, guru akan mengembalikan membaca sebagai hal yang birokratis dan mereka akan menjadi frustrasi karena guru-guru itu tidak dapat menerapkan cara berpikirnya dan mengatakan bahwa cara Paulo Freire salah! Karena itu, guru dapat terlahir kembali bukan dengan cara pemikiran birokratis tetapi lewati pemikiran yang terbuka dan kreatif.
Untuk mengetahui seperti guru-guru, kita harus memiliki keyakinan yang rendah hati. Jika kita sangat yakin, kita seringkali tidak bisa menerima perubahan. Tentunya kita butuh menjadi yakin tetapi dengan ketulusan hati, selalu menunggu menjungkirbalikkan ”keyakinan kita” Jika Anda tidak yakin dengan ketulusan hati dalam ajaran-ajaran dan pengalaman kongkretnya, Anda beresiko mengubah ide-ide ini menjadi suatu pembalut dan hal itu tidak akan berhasil.
Language Art: terima kasih banyak. Apakah ada komentar akhir yang ingin Anda tambahkan?
Freire: saya hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang membaca pembicaraan ini. Saya juga menantang Anda untuk tidak menerima apa yang kita telah bicarakan, tetapi pikirkanlah secara kritis apa yang telah kita katakan.

Catatan:
Tulisan ini adalah hasil wawancara dengan Paulo Freire yang telah diterbitkan dalam jurnal Language Art pada 1985.

diterjemahkan dari Willam Hare & John P Portelli (Editors), Philosophy of Education Calgary Alberta: Detselig Enterprises. Canada. 1996 dalam teks berjudul "Reading The World and Reading the Word: An Interview with Paulo Freire".

Translated by st  ’08