Selasa, 18 Januari 2011

Konteks Pendidikan Kita

Seorang anak SD di Bekasi bertanya pada saya tentang “lingkungan hidup”, pelajaran IPS,. “Mengapa rumput liar harus dipotong atau dicabut?” tanyanya ingin tahu. “Kamu tahu rumput liar hidup di mana?”tanyaku. “Tidak tahu! Memang seperti apa bentuk rumput liar itu?” tegasnya. Sepenggal fenomena itu tampak mengindikasikan bahwa pendidikan belum sepenuhnya menjawab tuntutan konteks kehidupan kita. Bagaimana mengenal konteks hidup kita & mengintegrasikan hal itu ke dalam pendidikan? Tulisan ini hendak mendedahkan gambaran pendidikan kontekstual.

Konteks Hidup Kita & Pendidikan  
Peran pendidikan dalam konteks hidup kita tampaknya masih ambigu. Di sekolah-sekolah, murid pada umumnya “dipaksa” belajar guna mendapatkan nilai ujian yang bagus. Sekolah tampak hanya mengejar kepandaian & kepiawaian teori belaka. Urusan praktik atau konteks hidup agaknya telah disingkirkan. Maka, pendidikan di sini telah memisahkan dirinya dari kehidupan. Karena itu, kita harus mempertimbangkan “konteks hidup” dalam pendidikan.

Kehidupan kita itu kaya akan SDM yang penduduknya berjumlah kurang lebih 250 juta jiwa yang terdiri dari pluralitas suku & mayoritas perempuan. Banyaknya jumlah penduduk dan pluralitas suku membuat tantangan atas rentannya gesekan antar suku. Selain itu, mayoritas perempuan yang dilecehkan dalam rumah tangga atau dalam pekerjaan, seperti yang terjadi dalam kasus TKW, menjadi tantangan tersendiri.

Sebagai negara kepulauan, negara kita kaya atas pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Puluhan ribu pulau itu dianasir oleh tanah pertanian dan dikelilingi oleh lautan. Karena itu, kekayaan laut disamping lahan pertanian, juga menjadi modal sumber daya alam kita.

Belakangan ini, masyarakat kita dilukiskan dalam potret buram di pengungsian akibat bencana alam. Kita ingat bencana alam Tsunami di Aceh & Mentawai, gempa bumi di Aceh, Padang, Yogyakarta maupun bencana gunung Merapi di Yogyakarta. Selain itu, bencana banjir bandang yang terjadi di Wasior ataupun banjir yang dialami masyarakat di Medan, menambah keburaman potret hidup kita.

Konteks hidup masyarakat kita juga dibingkai dalam permasalahan klasik, yaitu kemiskinan. Mayoritas masyarakat kita masih hidup dalam garis kemiskinan, seperti yang dinyatakan dari data BPS 2010, yaitu 35 juta masyarakat kita masih hidup miskin (kompas.com nov 2010). “Sudah jatuh, tetapi tertimpa tangga pula”, begitulah peribahasa yang menunjukkan keterpurukan karena kemiskinan, kemudian ditimpa lagi kasus korupsi. Kasus-kasus korupsi yang marak dipraktikkan oleh pejabat menunjukkan betapa uang menjadi bayaran suatu kejujuran.

Jika direfleksikan dari konteks permasalahan hidup kita, pendidikan belum sepenuhnya menjawab konteks hidup. Masyarakat telah “sakit” karena konteks hidup berkorupsi yang merajalela ditonton sebagai ajang “pembelajaran” publik yang tidak mendidik. Masyarakat yang berada di daerah bencana menjadi “terasing” karena ternyata kita tak sanggup menanggulangi masalah bencana yang terus terjadi belakangan ini.

Maka, kita sepantasnya mengembalikan pendidikan sebagai kekuatan pembebasan atas masalah hidup. Tentang ini, Ki Hajar Dewantara menegaskan dasar pendidikan sebagai perjuangan hidup. Katanya, pendidikan tidak boleh berhenti, melainkan harus memelihara hidup ke arah kemajuan (1977:166). Sejalan dengan itu, Freire menekankan pendidikan problem solving untuk memecahkan masalah hidup manusia. (Freire: 2000, 62-70).

Dengan mengacu pada konteks hidup itu dan permasalahan yang ada, maka penerapan pendidikan hidup yang sekaligus menjadi problem solving merupakan metode pendidikan yang mendesak untuk dipraktikkan.  

Kurikulum kontekstual
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang kontekstual, kita membutuhkan rumusan kurikulum yang mengidentifikasi konteks hidup dan permasalahan hidup masyarakat kita. Kurikulum bukanlah sekedar rumusan teori kosong-tanpa praktik, yang patut dirujuk dalam praktik pendidikan. Kurikulum adalah alat untuk menyingkap kehidupan. Titik berangkatnya adalah konteks dan kebutuhan hidup.

Kurikulum sekarang (KTSP) memang kelihatan sifat kontekstualnya sebab sekolah dimandatkan untuk membuat kurikulum sesuai konteks daerahnya. Namun demikian, guru-guru tampak gagap menanggapi kurikulum ini, karena perubahan kurikulum selalu mengikuti perubahan orde pemerintahan. Belum lagi, setiap sekolah dipaksa mengikuti Ujian Nasional. Apakah ujian nasional menjamin keragaman konteks hidup kita? Tentu tidak!

Namun dibalik itu, kita harus menanti upaya pemerintah untuk mengkontekstualisasikan pendidikan. Kemendiknas berencana menargetkan finalisasi kurikulum bencana di beberapa daerah yang rawan bencana seperti di Sumatera, Jawa, Bali, Maluku & Papua. Teori & praktik tentang bencana direncanakan akan dimasukkan dalam beberapa pelajaran sekolah. (Kominfo-Newsroom, 1/11/2010).

Sementara itu, di Papua direncanakan tahun ini juga, HIV & AIDS akan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Hal itu terkait dengan tingginya penyebaran HIV & AIDS di daerah itu (Metrotvnews.com, 2 des 2010).
Kini, kita tampaknya perlu mempertimbangkan beberapa konteks dan permasalahan hidup yang diintegrasikan ke dalam pendidikan. Di samping konteks bencana alam & HIV & AIDS yang menjadi konteks hidup kita, beberapa konteks hidup di bawah ini juga perlu dipertimbangkan sebagai muatan dalam kurikulum.

Pertama, sebagai negara agraris & kelautan, pertanian & kelautan perlu diperkenalkan dan dipelajari sejak dini. Teori dan praktik dasar mulai diperkenalkan perlahan-lahan. “Bercocok tanam”, “pertunjukkan kekayaan laut” dan “memancing” mungkin  menjadi contoh teori & praktik yang dapat diinisiasi sekolah dasar.

Kedua, adalah soal pluralitas Suku, Agama & Ras.  Metode-metode diskusi antar murid yang berbeda Suku, Agama & Ras dalam belajar seharusnya juga diperkenalkan sejak dini untuk memperkenalkan kekayaan Suku, Agama & Ras. Selain itu, pendidikan gender perlu juga diangkat dalam teori & praktiknya untuk mengantisipasi persoalan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.  

Ketiga, kita bersyukur di sekolah-sekolah telah memiliki warung kejujuran untuk menilai kejujuran murid di sekolah. Tetapi kita tidak bisa mengukur sejauh mana pendidikan kejujuran ini berlaku jika murid tidak ada atau diluar sekolah. Maka soal kejujuran selain teorinya yang sudah diperkenalkan, praktik-praktik kejujuran yaitu warung kejujuran perlu direfleksikan kembali efektivitasnya.

Keempat, persoalan kemiskinan patut dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Akar kemiskinan memang penting dipelajari untuk mengetahui akar permasalahannya. Tetapi realitas kemiskinan juga harus dipertunjukkan secara visual dan asli. Kemiskinan dapat ditunjukkan dengan turun langsung melihat kondisi kemiskinan di lapangan. Bukan seperti tayangan sinetron yang menampilkan kemiskinan palsu, misalnya penampilan orang miskin yang memakai pakaian dengan merek pakaianbranded.   

Selain keempat point itu, mungkin masih banyak persoalan hidup yang bisa ditelusuri sebagai tantangan bagi pendidikan kontekstual. Yang paling esensial adalah bagaimana mengidentifikasi konteks dan persoalan hidup kita dengan skala prioritas kebutuhan dan menerapkannya dalam konteks usia dan termanifestasi dalam teori & praktik yang tak terpisahkan. Sudahkah kita mengenal konteks hidup kita? Semoga saja.   

11 Januari 2011
Alistair E W Steven Simbolon
Refleksi Awal Taon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar