Sabtu, 15 Januari 2011

Pendidikan Seks Sekarang Juga!

Kini, perilaku seks yang heboh telah merambah ke dunia kita & remaja. Lihat saja. masyarakat pebisnis kita umumnya menjual seks lewat medianya, internet dan vcd porno. Kita pun dengan mudah mengunduh VCD porno di glodok. Entah dari mana, remaja kita mudah sekali mendapatkan media pornografi. Perhatikan perilaku seks remaja sekarang, masturbasi dan seks bebas tampaknya bukan berita baru lagi. Betapa mirisnya gambaran perilaku remaja kita sekarang! Mengapa begitu?

Terkontaminasi Massa yang Porno
Siang itu matahari enggan menampakkan sinarnya yang panas. Dibandingkan sinar itu, mungkin lebih berani Ap (16 tahun), Am (16 tahun), A (15 tahun) remaja-remaja yang nongkrong, menampakkan dirinya di pelataran mal di Jakarta Timur.

Tak jelas mengapa mereka di sana, nongkrong, main atau belanja. Yang jelas orang tua mereka tidak tahu jika mereka sering mangkal di sana. Satu di antara mereka, A (15 tahun) masih memakai seragam putih biru. Sementara Ap (16 tahun) dan Am(16 tahun) berkaos oblong mengaku sudah tidak sekolah, karena tidak ada uang untuk biaya sekolah.

Ketika diajak ngobrol tentang seks, mereka agak malu-malu seraya menyunggingkan sesekali senyuman. Obrolan pertama adalah film porno. Tentang itu, mereka tampaknya tidak buta film porno. Umumnya, mereka mulai nonton film porno sejak SD. Am mengaku nonton film porno sejak SD kelas V. Sedangkan Ap dan A nonton film porno sejak SMP kelas 1 dan kelas 3.

Mereka mengakses film tersebut di warung-warung internet maupun lewat pergaulan teman sebayanya. A yang tampaknya fasih atas situs-situs porno itu mengaku bahwa ia tahu banyak situs porno dari temannya satu sekolah. Sementara itu, menurut Am, ia sering nonton film porno (kaset VCD) dari pergaulan teman di sekolahnya dulu.

Obrolan pun berlanjut, sekarang mengarah pada tempat menonton film. Tampaknya rumah merupakan tempat yang empuk untuk nonton film porno. Itu yang dialami oleh Am dan A. Am terpancing untuk bercerita bahwa ia pernah nonton film porno dengan pacarnya di rumah temannya yang sepi. Itu juga diiyakan oleh A. Ia nonton film porno bersama temannya di rumah tantenya, saat tante tidak ada di rumah. Betapa ruang (rumah kosong) dan peluang (tidak ada orang menjadi satu pelepas hasrat seks mereka.

Obrolan kedua adalah masturbasi atau dalam bahasa gaul, onani. A bercerita bahwa ia melakukan masturbasi sewaktu kelas 2 SMP. Itu dilakukannya sehabis nonton film porno. Yang hebohnya adalah pengalaman Am yang melihat temannya melakukan masturbasi di sekolah. Saat itu Am, hendak buang air kecil di kamar mandi sekolah, seorang temannya menunjukkan kepadanya bagaimana melakukan masturbasi, sambil memegang penisnya.

Di pelataran mal yang lain, D (19 tahun), seorang remaja duduk santai. Raut wajahnya yang sekali tersenyum atau tertawa, menyiratkan bahwa ia remaja yang asyik diajak ngobrol. Sebagai remaja yang baru lulus SMU, tampaknya perilaku D sudah selangkah lebih jauh dari remaja yang lain. Ia bercerita bahwa petualangan seksnya dimulai di Cibitung. Tak hanya di sana, di dekat rumahnya, petualangan seksnya kian jadi heboh. Saat itu, karena pengaruh miras, ia bersama temannya yang sedang mabuk, melakukan hubungan seks bergantian di sebuah taman di Jakarta. Akibat pun ditanggungya, ia terkena penyakit menular.

Cerita pengalaman seks A, Ap, Am dan D bisa jadi adalah gambaran pengalaman remaja kita saat ini. Pengakuan A, Ap, Am dan D atas perkembangan seksualitas mereka merupakan jeratan atas akses informasi yang liar tentang seks. Keluarga mereka tampak acuh untuk urusan pendidikan seks. Wajar saja jika mereka mengaksesnya lewat kawan sebayanya. Artinya, remaja kita sekarang sedang terancam pengaruh massa. Bagaimana massa mempengaruhi mereka?

Massa itu cair, lekang mengikuti ruangnya. Karena cair, maka tidak ada kekangan di dalamnya. Semua bebas melakukan apa saja bahkan yang secara etis buruk pun boleh dilakukan. Karena itu, nonton film porno pun itu tidak dilarang. Remaja  bebas mengunduh situs porno.

Lemahnya pengaruh keluarga membuat remaja dibentuk massa. Padahal bentukan massa itu vulgar, bebas, kata Plato, filsuf Yunani kuno. Karena vulgar, tidak ada yang subtil di dalamnya, alias porno! Massa seperti itu memperbolehkan setiap orang mengejar hasratnya. Semua hasrat manusia harus dikejar karena itu baik. Apapun yang menghalangi manusia untuk mengejar hasratnya adalah buruk. Baik dan buruk di sini menjadi relatif. Jadi sandaran etisnya tidak kuat, menekankan dimensi manusia semata.

Karena itu, Plato mengingatkan pengaruh massa seperti itu perlu dijauhi. Tidak mungkin massa yang porno dan jahat itu mampu mendidik kaum muda. Tidak ada moralitas yang bisa dipelajari dari massa. Hanya moralitas yang bersandar pada supernatural, yang ilahi yang mampu mengarahkan manusia pada kebijaksanaan (SimoneWeil, Intimations of Christianity Among The Ancient Greek).

Pendidikan keluarga, sekolah atau masyarakat?
Kalau massa bukanlah ruang yang tepat untuk berbicara tentang seks pada remaja kita, lalu di mana? Di keluarga? Keluarga-keluarga kita tampaknya tabu untuk berbicara tentang seks dengan anak atau remaja? Seringkali remaja enggan berbicara tentang seks dengan orang tua mereka sendiri. Sudah bukan rahasia umum, jika di keluarga remaja direpresi saat berbicara tentang seks.

Di sekolah tidak jauh beda. Perhatikan saja di sekolah, praktik penyebaran cerita, majalah & video porno menyebar diam-diam bagaikan pencuri yang mengendap-endap masuk mencuri. Sudahkah pendidikan seks dimasukkan dalam kurikulum? Apakah pendidikan sek diajarkan di sekolah? Jika sekolah peka terhadap hal itu, maka setidaknya remaja yang bersekolah punya tempat bercerita soal seksualitas.

Apalagi dengan keadaan masyarakat kita sekarang. Lihat saja, warnet-warnet memudahkan remaja kita untuk mengunduh cerita jorok ataupun video porno. Teman sebaya kini telah dibentuk oleh massa. Tontonan, cerita, pergaulan di masyarakat tampaknya kini lepas kontrol. Sekali lagi, begitulah sifat massa: cair, bebas & lepas, maka dengan mudah cerita, tontonan dan perilaku seks dilepas juga.

Dengan begitu, sebenarnya tidak ada ruang lagi yang bebas dari pengaruh dorongan seks yang mencari setiap ruang pemuasannya. Di sekolah kisah-kisah seks setali tiga uang dengan keadaan di keluarga alias tabu. Sementara di masyarakat, seks agaknya diumbar, dilepaskan karena tidak ada lagi kontrol dari masyarakat yang berciri konsumtif itu. Lalu bagaimana menemukan jalan keluar dari kepungan ketakutan keluarga & sekolah atau dari jeratan massa?

Cerita dari anak dan remaja tampaknya menjadi alat ampuh untuk mengenali dirinya. Begitu pula cerita-cerita yang dianggap seks yang dianggap tabu. Remote control untuk itu tidak seharusnya dimandatkan pada sekolah, tetapi pada keluarga sebagai pilar utama pembentuk kepribadian remaja kita. Yang tak kalah penting, sekolah seharusnya mengambil peranan dalam pendidikan seks anak dan remaja sejak dini. Karena itu, sekolah harus membuka ruang untuk curhat bagi anak dan remaja.

Rousseau pernah mengingatkan kita untuk jangan menyerahkan anak-anak kita pada masyarakat luas, karena masyarakat itu siap mengkontaminasi anak-anak kita, menggerogoti kecenderungan alamiah anak kita yang bebas (J.J Rousseau, Emile (trans Barbara Foxley, 7-9). Waspadalah pada “massa”! 

Pengalaman bergaul dengan remaja pinggiran & sekolah, saat bekerja bersama PKBI DKI Jakarta
Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar